Membentuk Perubahan Melalui Edukasi Keluarga

Laila Sari, pendiri Yayasan ILA Education, dan keluarganya menjadi Change Leader Gaharu Keluarga. Melalui proyek Tuntungan Ground Board Game dan komunitas Keluarga Pembaharu Indonesia, mereka menyebarkan "virus changemakers" untuk membawa perubahan positif dalam pendidikan keluarga di masyarakat.
Story bubbles on world map
Source: Ashoka

Bersama Keluarga Menyebar Virus Changes Makers Education


Saya Laila Sari, bersama dengan suami Henry Ridho dan seluruh anggota keluarga yaitu 5 orang anak, kami mendirikan Yayasan ILA Education yang bergerak di bidang pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat dan sosial. Di bawah bendera Yayasan ILA Education, kami bahu membahu mengembangkan berbagai proyek sosial dan pendidikan keluarga.


Salah satu upaya kami dalam mengembangkan konsep edukasi yang menarik adalah dengan menciptakan produk berbasis permainan. Seperti karya anak sulung kami, Azzam Habibullah yang berhasil membuat alat untuk memberi stimulasi para remaja agar lebih memiliki kepedulian pada lingkungan sosialnya, produk ini diberi nama Tuntungan Ground Board Game.


Dengan tujuan mengibarkan konsep pendidikan keluarga, tentunya saya dan keluarga merasa sangat senang ketika diajak untuk tumbuh bersama Ashoka dan menjadi bagian dari Change Leaders Gerakan Pembaharu (Gaharu) Keluarga. Change Leaders ini dilatih untuk menjadi para fasilitator keluarga. 


Dimulainya Penyebaran “Virus” Changemakers
Aktivitas saya adalah seorang konselor keluarga dan perkawinan. Sejauh ini, saya hanya bekerja pada bidang kuratif, yaitu ketika ada yang memerlukan konsultasi pada saya, maka saya akan membantu memperbaiki permasalahan perkawinan dan keluarga di area yang dikatakan cukup kecil. 


Sejauh ini, banyak sekali pengalaman yang saya peroleh ketika menghadapi berbagai macam persoalan keluarga, memandang dari sudut pandang istri, suami, keluarga besar dan terutama anak. Di antaranya, ketika beberapa kali kami diundang pada kelas-kelas parenting, kami berbagi kisah dan pengalaman tentang pengasuhan yang kami lakukan di rumah bersama keluarga.  


Pada saat itu, saya berpikir bahwa apa yang sudah saya lakukan, adalah sebuah tindakan yang terbaik. Yaitu, memberikan saran di sesi konseling lalu konseli membayar sesuai tarif yang telah ditentukan atau dengan kata lain: berbicara kemudian ada kompensasi yang diterima. Tetapi, kemudian pandangan saya ini berubah.


Ketika saya diundang bergabung bersama teman-teman di Gaharu Keluarga, saya jadi banyak merenung. Saya seakan tertampar atas apa yang selama ini saya jalani. Tindakan saya selama ini sebagai pegiat edukasi keluarga belumlah cukup, apalagi untuk menjadi bagian dari sebuah perubahan yang dimulai dari satuan sosial terkecil yaitu keluarga. 

Saya mulai melakukan evaluasi dan mendapatkan bahwa selama ini, ketika sesi pasca seminar atau kelas parenting, peserta yang notabene adalah pasangan suami istri atau keluarga tidak serta merta mempraktikkan ilmu parenting yang diberikan. Umumnya, sesampainya di rumah, mereka akan kembali berkutat dengan masalahnya.


Berbagai persoalan keluarga, pasangan dan anak-anak terutama yang berhubungan dengan pendidikan di keluarga kecil mereka terus bergulir tanpa penyelesaian.  Saya pun merenungi suasana yang terjadi ketika sesi konseling, antara saya dengan satu keluarga. Di mana posisi saya seakan hanya melayani pasangan yang datang dan cukup merasa perlu bersikap sebagai penengah atas permasalahan keluarga atau perkawinannya.


Rupanya, solusi seperti ini belumlah cukup dan terasa sangat dangkal karena tidak ada perubahan yang signifikan apalagi terstruktur. Apa yang disampaikan menguap begitu saja seiring berjalannya waktu. 
Padahal masalah terpenting adalah bagaimana agar keluarga-keluarga itu terbina, memiliki circle atau lingkungan yang positif dan dapat mengajak untuk bertumbuh bersama. Termasuk mengajarkan bersabar dalam melakukan proses perubahan yang walaupun kecil tapi terus tekun dijalankan dan berkesinambungan.


Sejak itulah, tekad saya untuk memperbaiki cara mengenalkan konsep pendidikan keluarga mulai saya lakukan. Saya mengajak dan menyebar virus “changemakers” di kelas-kelas parenting yang saya isi di berbagai tempat, lembaga, komunitas maupun pemerintahan. 


Setelah mereka mengikuti parenting class, saya mengajak untuk membuat satu komunitas perubahan yang berisi upaya pembimbingan pendidikan keluarga. Saya coba ajak para keluarga itu untuk mampu tumbuh bersama dengan keluarga lainnya dalam kelompok kecil secara rutin. Akhirnya, lahirlah komunitas keluarga yang saya namakan “Keluarga Pembaharu Indonesia”.


Begitu Banyak Tantangan yang Dihadapi
Dalam perjalanan dan proses edukasi, saya banyak menghadapi berbagai tantangan, di mana tantangan utama justru datang dari diri sendiri yang terkadang merasa lelah dengan kesibukan dan profesi yang dijalani. 


Tantangan lainnya datang dari anggota keluarga, seperti terjadi perubahan dalam hal waktu atau permasalahan yang beragam lainnya. Belum lagi semua anggota keluarga juga meminta perhatian. Yang terakhir adalah situasi di mana pasangan terkadang kurang dapat mendukung dan perlu dilakukan pendekatan dengan komunikasi yang lebih intensif. Dengan semua tantangan internal ini, saya tetap optimis untuk terus mampu mendampingi banyak keluarga dan memberikan edukasi keluarga yang baik.
Selain tantangan pribadi, tentunya ada tantangan lainnya dalam menjalankan misi pendidikan keluarga di masyarakat. Contohnya, ketika pertemuan berlangsung di beberapa komunitas yang terbentuk, hampir semua peserta selalu mengarah pada sesi curhat atau konsultasi pribadi hingga sesi berakhir. Rasanya, semua yang hadir meminta perhatian saya dan semua ingin didengarkan. 


Namun, ini semua karena para peserta melihat latar belakang saya sebagai seorang konselor dan saya mencoba memaklumi. Terkadang saya mencoba untuk memberi kesempatan pada peserta yang lain untuk memberi masukan, hasilnya pihak yang berkonsultasi malah merasa kecewa dan kembali meminta saya untuk mendengarkan cerita mereka. 


Di sisi lain saya merasa senang, karena artinya dengan mereka sudah mau berbagi cerita saja, menandakan sebuah kemajuan sebagai wujud perhatian peserta terhadap keluarga. Solusi terbaik yang dapat saya berikan adalah membatasi dengan durasi waktu yang telah disepakati dan setelah selesai sesi, peserta boleh meminta jadwal khusus dengan waktu yang disepakati.


Satu hal yang para peserta ini pesankan pada saya untuk tidak memposting bahkan difoto dan membagi kisah mereka pada masyarakat umum. Hal ini karena kasus-kasus yang mereka hadapi banyak yang menyangkut masalah pribadi dan berhubungan dengan masalah keluarga. Jadi, untuk berbagi kisah mereka agar menjadi contoh pada pihak lain, saya harus meminta izin mana cerita yang boleh dan yang tidak boleh dibagikan pada publik.


Keluarga Pembaharu Visi Bersama
Terlepas dari semua tantangan, saya merasa bahagia bahwa di komunitas Keluarga Pembaharu Indonesia, kami dapat melakukan temu-sapa bulanan secara offline. Di pertemuan ini, ada beberapa komunitas kecil yang terdiri dari 4 kelompok.


Di desa Tuntungan Kecamatan Deli Serdang Sumatera Utara ini, saya membentuk kelompok kecil terdiri dari 10 keluarga dan saat ini yang masih tetap aktif 7 keluarga. Kelompok kecil ini terdiri dari 7 perempuan dewasa dan 4 lelaki dewasa rentang usia 37-55 tahun, remaja dan anak 13 orang (7-17 tahun). 


Kelompok inilah keluarga yang sudah terbuka pola pikirnya dan mau menjadi keluarga pembaharu. Mereka memulai dari keluarga kecilnya kemudian mengajak keluarga lainnya. Pada setiap pertemuan kami melakukan aktivitas seperti menonton film pendek bersama kemudian membahas, merefleksikan dan mendiskusikan isi cerita film tersebut. Bermain games juga menjadi kegiatan kami yang menyenangkan, kemudian kami membiasakan di akhir acara untuk bertukar opini tentang pengalaman yang dirasakan dan dialami pada masing-masing keluarga serta berbagi pengalaman ketika mengajak keluarga lainnya. 


Saya percaya tak ada upaya yang sia-sia, karena di bulan Agustus saya didukung oleh seluruh tim membuka “Sekolah Keluarga” dengan tim pengelola dari 7 keluarga aktif yang mulai solid. Tim kecil ini juga mencoba menggodok sejenis proposal kerjasama dengan organisasi lain, lembaga pemerintahan dan komunitas yang ada di Sumatera Utara untuk membuat suatu pembinaan keluarga yang diberi nama “Gerakan Keluarga Tangguh Indonesia”. 


Saat ini lembaga yang sudah mau bergabung adalah DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) Sumatera Utara.


Gaharu Keluarga Impian Bersama
Bagi saya, upaya ini adalah awal dari sebuah perubahan yang terus dicoba untuk dirancang sebagai bagian dari dukungan terhadap program Gaharu Keluarga. Tentu saja tantangan di depan akan semakin besar, terutama tantangan terkait kesinambungan dari program, ketekunan untuk melakukan perubahan yang diawali dari keluarga terdekat, lalu bergerak ke lingkungan yang lebih luas.


Memupuk semangat untuk melakukan perubahan untuk tidak lagi berfokus pada diri sendiri, melainkan mengajak lebih banyak komunitas, lembaga dan kelompok lainnya untuk bergerak bersama. 
Walaupun dengan cara dan konsep yang bisa jadi berbeda tetapi semua memiliki tujuan dan visi besar yang sama.

Sehingga di masa depan, Deli Serdang dan sekitarnya secara masif akan berubah menjadi wilayah dengan perkembangan sosial yang lebih baik. Semua ini dimulai dari terwujudnya banya keluarga yang memahami dan menjalankan metode pendidikan keluarga yang tepat.


(Laila Sari, ILA Education dan Change Leader Gaharu Keluarga. Pendamping Keluarga dan Penulis Kisah Baik GAHARU Desa Tuntungan, Kecamatan Deli Serdang Sumatera Utara)